Selasa, 31 Agustus 2010
berbincang dengan Tatung [sumber inspirasi-ku]
berbincang dengan Tatung (guru besar-ku, sang peletak pemahamanku tentang epistimologi), aku ceritakan tentang ide "Rumah Kata"-ku, ternyata beliau punya ide lebih brilian... "Kampus Masyarakat" tempat berkembangnya pemikiran yang membangun dalam lingkungan sekitar kita.
Sangat Inspiratif! terima kasih pak Afwan.
Sabtu, 31 Juli 2010
Rumah Kata itu Rumah kita....
Ada fenomena, dalam suatu keluarga, setelah beberapa tahun berjalan bersama, kok tiba-tiba saja menjadi "garing". Suami semakin sibuk, dengan berdalih mencari nafkah, berharap mendapat cukup perhatian dari Istri setibanya di rumah. Sementara Istri pun berharap perhatian lebih dari suaminya, setelah capek mengerjakan begitu banyak pekerjaan rumah tangga. Alhasil, keduanya bertemu dalam satu perselisihan. Atau jika tidak, mereka bertemu dalam kondisi yang sama-sama tidak menyenangkan. Muka cemberut, mata kuyu, bibir manyun... lengkap lah sudah.
Demikian halnya sang anak; terus mencari perhatian kedua orang tuanya... kadang sampai ia putuskan untuk berbuat "nakal" demi mendapatkan perhatian dari ayah ibunya, walaupun tentu.. perhatian itu berupa bentakan dan cubitan... mereka rela, yang penting dapatkan sentuhan dari orang tua mereka.
hiks..
Semuanya berawal dari komunikasi yang terganggu. Tidak ada sarana yang memadai untuk para anggota keluarga itu mencurahkan isi hatinya. Ibarat air, dalam selokan yang mampet, tentu saja meluap... menjadi marah, kesal, benci!
Jika anda masih ingat, bagaimana Rumah Kata dibangun, bagaimana lintasan kata dalam hati, dalam lesan, juga dalam otak kita... dapat dikelola secara serius. Ya di Rumah Kata-lah tempatnya...
Di manakah Rumah Kata itu? Rumah Kata ada di sini, di rumah kita. Ya, di rumah kita.
Teruslah belajar, bagaimana berkata-kata. Bagaimana mengelola kata itu dalam kehidupan di rumah tangga kita. Bagaimana pola komunikasi yang selalu mesra antar pasangan. Bagaimana orang tua bisa selalu merasakan apa yang dirasakan anaknya... hmmm
rasanya indah sekali.
Jumat, 30 April 2010
teka teki di rumah kata....
Selasa, 13 April 2010
menguyah perlahan film "Shackles"
Film "Shackles"; aku mengunyah perlahan satu kisah, tentang seorang guru di sebuah penjara. Bagaimana dia mengubah para penghuni penjara itu dengan "puisi". Perjuangan yang luar biasa. Membimbing mereka para anak jalanan itu, mau berbincang tentang diri mereka, mau bermain dengan kata-kata dalam isi kepalanya. Beberapa kali bahkan nyaris nyawanya terancam, tapi sang guru tak peduli. Terus benamkan ide-ide besar dalam otak mereka. Hingga muncul satu murid yang berbakat, nyaris menangkan perlombaan puisi antar sekolah.
Ini kisah yang indah, tentang bagaimana "kata-kata" bisa mengubah kita. Walau film ini diakhiri dengan adegan tragis, sang guru ditusuk dengan lempengan logam dalam sebuah insiden....
Ini kisah yang indah, tentang bagaimana "kata-kata" bisa mengubah kita. Walau film ini diakhiri dengan adegan tragis, sang guru ditusuk dengan lempengan logam dalam sebuah insiden....
Rabu, 17 Februari 2010
Berkomunikasi tidak sekedar berkata-kata.
Kata Teori: ada 3 unsur komunikasi
(1)ekspresi dan bahasa tubuh (coba baca di Lomba pidato),
(2)pemilihan kata (ini kita pelajari di arisan kata),
(3)artikulasi;
Hari ini aku belajar yang ke(3); dimulai dengan pelajari cara Ruben Onsu ucapkan salam-penuh keceriaan-, aku coba ke pak Satpam sepulang kantor, lumayan, membuat senja jadi lebih terang. Setelah itu belajar keluarkan bunyi tanpa kata, namun tetap bisa gambarkan suasana hati; hasilnya: muncul lenguhan sapi, dan jeritan kucing menyayat hati. (kata mas Teguh:Mmm... Suasana hati ya...? Lenguhan sapi = rasa lelah sehabis seharian bekerja. Jeritan kucing = rasa ingin dimanja2 karena lelah sehabis seharian bekerja. Betul ga mas..? :D)
Mencoba menyampaikan sesuatu, namun diusahakan tanpa kata-kata. Hanya bunyi. Aneh memang, namun ini bisa menjadi latihan dalam berkomunikasi yang efektif. Sebenarnya ini dilatarbekangi kritik dari mas Lutfi saat tadi pagi aku jadi MC, dan mencoba berpantun, menurut mas Lutfi caraku berpantun belum benar. Karena aku sekedar membacakannya... padahal ada intonasi khusus dalam berpantun. hmmm... jadi termotivasi mempelajari itu.
Di mobil, saat sendiri (sebelum sampai ke tempat istri menunggu) aku mencoba berteriak, menjerit... lalu aku rekam di HP. Berharap bisa menilai apa yang bisa aku sampaikan dari bunyi-bunyian itu. Sambil terus fokus pada suasana hati saat itu. Hasilnya memang aneh, sebuah lantunan bunyi tanpa nada. Ya itu tadi, seperti yang aku tulis di atas, lenguhan sapi dan jeritan kucing. Hehehehe... ntah lah. Aku memang harus sering berlatih, meskipun aneh... bisa jadi ini khas kurikulum rumah kata.
(1)ekspresi dan bahasa tubuh (coba baca di Lomba pidato),
(2)pemilihan kata (ini kita pelajari di arisan kata),
(3)artikulasi;
Hari ini aku belajar yang ke(3); dimulai dengan pelajari cara Ruben Onsu ucapkan salam-penuh keceriaan-, aku coba ke pak Satpam sepulang kantor, lumayan, membuat senja jadi lebih terang. Setelah itu belajar keluarkan bunyi tanpa kata, namun tetap bisa gambarkan suasana hati; hasilnya: muncul lenguhan sapi, dan jeritan kucing menyayat hati. (kata mas Teguh:Mmm... Suasana hati ya...? Lenguhan sapi = rasa lelah sehabis seharian bekerja. Jeritan kucing = rasa ingin dimanja2 karena lelah sehabis seharian bekerja. Betul ga mas..? :D)
Mencoba menyampaikan sesuatu, namun diusahakan tanpa kata-kata. Hanya bunyi. Aneh memang, namun ini bisa menjadi latihan dalam berkomunikasi yang efektif. Sebenarnya ini dilatarbekangi kritik dari mas Lutfi saat tadi pagi aku jadi MC, dan mencoba berpantun, menurut mas Lutfi caraku berpantun belum benar. Karena aku sekedar membacakannya... padahal ada intonasi khusus dalam berpantun. hmmm... jadi termotivasi mempelajari itu.
Di mobil, saat sendiri (sebelum sampai ke tempat istri menunggu) aku mencoba berteriak, menjerit... lalu aku rekam di HP. Berharap bisa menilai apa yang bisa aku sampaikan dari bunyi-bunyian itu. Sambil terus fokus pada suasana hati saat itu. Hasilnya memang aneh, sebuah lantunan bunyi tanpa nada. Ya itu tadi, seperti yang aku tulis di atas, lenguhan sapi dan jeritan kucing. Hehehehe... ntah lah. Aku memang harus sering berlatih, meskipun aneh... bisa jadi ini khas kurikulum rumah kata.
Senin, 15 Februari 2010
Arisan Kata-kata.
Berawal dari permainan bersama anak-anak sebelum tidur... aku menulis beberapa kata di kertas kecil, lalu digulung dimasukkan dalam gelas (mirip arisan); masing-masing mengambil 2 gulungan kertas. Lalu menyusun satu kalimat dari kata-kata itu... yang terjadi, mereka tidak hanya membuat satu kalimat melainkan sebuah cerita; hmmm indahnya imajinasi!
Kurang puas dengan hanya 2 kata, mereka tambahkan 3 kata untuk masing-masing (bahkan akhirnya 4 kata). Bisa jadi bertemu dengan kata yang sama, namun setelah dikombinasikan dengan kata yang lain, lahirlah cerita yang lain pula. Akhirnya, menjelang tidur, kami kenyang oleh curahan cerita. Dulu mungkin kami (aku dan istri) yang sibuk membacakan dongeng untuk mereka, kini justru mereka yang mendongeng untuk kami. Sekali lagi, Indahnya I M A J I N A S I.
Kurang puas dengan hanya 2 kata, mereka tambahkan 3 kata untuk masing-masing (bahkan akhirnya 4 kata). Bisa jadi bertemu dengan kata yang sama, namun setelah dikombinasikan dengan kata yang lain, lahirlah cerita yang lain pula. Akhirnya, menjelang tidur, kami kenyang oleh curahan cerita. Dulu mungkin kami (aku dan istri) yang sibuk membacakan dongeng untuk mereka, kini justru mereka yang mendongeng untuk kami. Sekali lagi, Indahnya I M A J I N A S I.
Kamis, 21 Januari 2010
Belajar Bertutur....
"mencoba belajar lagi teknik bertutur, ternyata berkomunikasi sangat berperan dalam hidup ini. Kesalahan di bidang ini, bisa membuat kebenaran tersalahkan, dan kebatilan terbenarkan..."
Berkomunikasi dengan orang lain, tidak sekedar membutuhkan kemampuan memaparkan sesuatu, melainkan juga kemampuan untuk memahami lawan komunikasi kita. Teringat 4 sifat Rosululloh: Sidiq (jujur), Amanah (dapat dipercaya), Fathonah (cerdas), dan Tabligh (menyampaikan). Kata tabligh (menyampaikan) itu proses bergeraknya "informasi" hingga sampai ke objek kita. Sehingga dibutuhkan daya dorong yang cukup untuk membawa informasi itu, juga daya terima yang memadai dari target komunikasi kita. Jarak yang memisahkan Komunikator dengan komunikan ini harus diisi dengan "tafahum" saling memahami.
Facebook bisa menjadi sarana yang kita pakai untuk menguji kecakapan kita memilih kata-kata. Karena di sana, ada banyak pembaca yang mungkin kita tidak kenal mereka dan mereka tidak mengenal kita. Kata-kata yang kita lemparkan ke status kita, bisa memicu pemahaman yang berbeda-beda... ini yang menjadi seru; karenanya aku sering menganggap fb itu tempat orang ber-celoteh. Banyaknya komentar bukan berarti salah atau benarnya celoteh kita, melainkan hanya seberapa menariknya kata-kata yang kita pilih. Bisa jadi semakin memicu kontroversi, semakin banyak mengundang perhatian orang... Di sinilah pentingnya motif, maksud, atau niat kita dalam menerbitkan status itu. Dengan niat baik, materi yang positif, pemilihan kata yang tepat, dan juga waktu yang tepat kita meng-upload-nya (karena ini mempengaruhi jumlah orang yang membacanya) kita bisa menebarkan nilai-nilai positif (boleh dibaca: berdakwah) dalam dunia facebook.
Wallohu a'lam.
TERLAHIR DI RAHIM WAKTU; kesepakatan antara kemarin, hari ini dan hari esok.
Pernahkah kita bertanya, mengapa ada “kemarin”? Mungkinkah “kemarin” itu lahir karena ada “hari ini” ? Ataukah sebaliknya “hari ini” itu ada karena ada “kemarin”? Lalu bagaimana dengan “esok”? Entahlah… yang jelas semua ini terkait dengan waktu, juga ingatan kita, ditambah pula mimpi dan rencana kita.
Waktu adalah tempat dimana “kemarin”, “hari ini”, dan “esok” tinggal. Ingatan adalah yang membuat “kemarin” itu tetap ada dalam alam kesadaran kita, sedangkan mimpi adalah rahim yang melahirkan kata “esok” dalam batok kepala kita. Bagaimana dengan “hari ini”? ia lebih mudah didefinisikan, karena ia memang mengada di dalam kenyataan kita. Selama dimensi kesadaran itu berada dalam kenyataan, maka sesungguhnya kita sedang berada dalam “hari ini”.
Bagaimana dengan “kesan” yang kadang kita beri nama dengan kata “kenangan”? Kenangan itu lahir tentu di hari lalu (kemarin), dan diselamatkan oleh ingatan kita, dari cengkeraman monster lupa. Kadang ingatan itu terpicu oleh tanda-tanda yang sengaja kita ciptakan. Entah itu berupa kata yang kita catatkan dalam buku harian, atau benda-benda yang kita nisbatkan sebagai lambang dari sebuah kejadian… atau hanya warna, yang kita sepakati sebagai perwakilan dari seluruh kesan atas kejadian-kejadian dalam satu waktu. Bahkan nama, kadang sangat berarti mewakili segenap isi hari-hari yang kita anggap penuh kenangan. Atau foto, sebuah perlambang kesombongan kita, untuk mencuri satu momen dalam hidup kita.
Yang menarik adalah, seringkali beranjak dari kenangan itu-lah, kita berandai-andai tentang hari esok. Di saat itu, terhubung ketiga-nya dalam satu tema pembahasan di isi kepala kita. Di sekarang, kita berbincang tentang masa lalu, untuk rencanakan masa depan di hari esok. Dan itu tidak lah mudah, begitu banyak nama, wajah, senyuman, tangisan, kehangatan, kebencian, kejadian-kejadian, benturan, rasa sakit, rasa bahagia, berbaur bersama…diolah oleh akal sehat, dipaksa untuk terhubung dengan alasan-alasan yang masuk akal, ataupun rencana-rencana yang terukur… untuk kemudian menghasilkan mimpi, rencana untuk hari esok. Kadang yang lahir justru ngilu, ketika hasil dari mesin produksi itu (dengan bahan baku: kenangan, diolah di hari ini, dan hasil produksinya adalah mimpi dan rencana di hari esok) tidak seperti yang kita harapkan. Bisa jadi luka itu adalah karena kenangan yang sudah terlanjur tertanam terlalu dalam, sementara hari ini dan esok sudah sepakat untuk menghapus kenangan-kenangan itu, kebayang kan… betapa perihnya ketika kenangan itu harus dicongkel keluar. Ngilu, saat tercabut akar kenangan itu… darah mengucur, tersayat rongga jiwa. Kesalahan dalam mencongkelnya bisa membuat hati tergelepar, meregang nyawa. Hiks!
Kita berharap tidak ada luka. Kenangan seberapa indah atau seberapa buruknya mestilah kita kelola dengan bijak. Agar terhubung di hari ini dengan hari esok, menjadi rencana-rencana yang rapih. Jelas, terukur, dan indah untuk kita kenang di hari esoknya lagi… Semoga.
Waktu adalah tempat dimana “kemarin”, “hari ini”, dan “esok” tinggal. Ingatan adalah yang membuat “kemarin” itu tetap ada dalam alam kesadaran kita, sedangkan mimpi adalah rahim yang melahirkan kata “esok” dalam batok kepala kita. Bagaimana dengan “hari ini”? ia lebih mudah didefinisikan, karena ia memang mengada di dalam kenyataan kita. Selama dimensi kesadaran itu berada dalam kenyataan, maka sesungguhnya kita sedang berada dalam “hari ini”.
Bagaimana dengan “kesan” yang kadang kita beri nama dengan kata “kenangan”? Kenangan itu lahir tentu di hari lalu (kemarin), dan diselamatkan oleh ingatan kita, dari cengkeraman monster lupa. Kadang ingatan itu terpicu oleh tanda-tanda yang sengaja kita ciptakan. Entah itu berupa kata yang kita catatkan dalam buku harian, atau benda-benda yang kita nisbatkan sebagai lambang dari sebuah kejadian… atau hanya warna, yang kita sepakati sebagai perwakilan dari seluruh kesan atas kejadian-kejadian dalam satu waktu. Bahkan nama, kadang sangat berarti mewakili segenap isi hari-hari yang kita anggap penuh kenangan. Atau foto, sebuah perlambang kesombongan kita, untuk mencuri satu momen dalam hidup kita.
Yang menarik adalah, seringkali beranjak dari kenangan itu-lah, kita berandai-andai tentang hari esok. Di saat itu, terhubung ketiga-nya dalam satu tema pembahasan di isi kepala kita. Di sekarang, kita berbincang tentang masa lalu, untuk rencanakan masa depan di hari esok. Dan itu tidak lah mudah, begitu banyak nama, wajah, senyuman, tangisan, kehangatan, kebencian, kejadian-kejadian, benturan, rasa sakit, rasa bahagia, berbaur bersama…diolah oleh akal sehat, dipaksa untuk terhubung dengan alasan-alasan yang masuk akal, ataupun rencana-rencana yang terukur… untuk kemudian menghasilkan mimpi, rencana untuk hari esok. Kadang yang lahir justru ngilu, ketika hasil dari mesin produksi itu (dengan bahan baku: kenangan, diolah di hari ini, dan hasil produksinya adalah mimpi dan rencana di hari esok) tidak seperti yang kita harapkan. Bisa jadi luka itu adalah karena kenangan yang sudah terlanjur tertanam terlalu dalam, sementara hari ini dan esok sudah sepakat untuk menghapus kenangan-kenangan itu, kebayang kan… betapa perihnya ketika kenangan itu harus dicongkel keluar. Ngilu, saat tercabut akar kenangan itu… darah mengucur, tersayat rongga jiwa. Kesalahan dalam mencongkelnya bisa membuat hati tergelepar, meregang nyawa. Hiks!
Kita berharap tidak ada luka. Kenangan seberapa indah atau seberapa buruknya mestilah kita kelola dengan bijak. Agar terhubung di hari ini dengan hari esok, menjadi rencana-rencana yang rapih. Jelas, terukur, dan indah untuk kita kenang di hari esoknya lagi… Semoga.
Langganan:
Postingan (Atom)